BAB I
PENDAHULUAN
A. DASAR
PEMIKIRAN
Kuliah kerja
lapangan ini dilakukan untuk melihat secara langsung budaya masyarakat kampung
naga, sehingga mahasiswa dapat meningkatkan wawasan tidak hanya di bangku
kuliahnya dengan teori dan konsep, tetapi dapat melihat realitas secara
langsung di lapangan, juga diharapkan mampu memilih unsur-unsur kebudayaan dan
perilaku masyarakat. Selain itu, mahasiswa Pasca Sarjana mendapat wawasan
tentang kondisi fisik,sosial,ekonomi dan penataan lingkungan Kampung Naga.
Seperti diketahui bahwa Indonesia memiliki banyak bentuk
masyarakat yang antara
satu daerah dengan daerah lainnya memiliki perbedaan masihmemegang teguh
adat istiadat dan kebudayaannya dengan sangat baik, salah satunya
masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya. Namun
demikian masyarakat kampung Naga ini tidak menutup diri dari dunia luar walaupun mungkin berbeda dengan masyarakat
Indonesia pada umumnya.
Melihat
phenomena ini adalah wajar apabila terdapat keinginan untuk mengenal lebih dekat tentang masyarakat kampung Naga ini, dibidang penataan lingkungan perkampungan Sehingga dengan
fakta tersebut mahasiswa
Pasca Sarjana perlu mengetahui keadaan yang ada di masyarakat kampung Naga tersebut.
B. MAKSUD
DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan dibuatnya Makalah ini
adalah :
1. Mengetahui
kehidupan masyarakat Kampung Naga
2. Mengali
dan mengkaji aspek fisik, sosial budaya, ekonomi dan penataan lingkungan
Kampung Naga
C.
MANFAAT
PENELITIAN
Dari
segi akademis, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu
sumber informasi dan bahan acuan
untuk melakukan penelitian-penelitian terkait
yang akan dilaksanakan.
1.
Mengkaji aspek fisik,
sosial budaya, ekonomi dan penataan lingkungan Kampung Naga
2.
Dari segi praktis,
hasil pengamatan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan suatu
kebijakan yang tepat bagi masyarakat Kampung Naga
D.
METODE
1.
Waktu dan lokasi Observasi
Observasi dilakukan di Kampung Naga, Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Waktu observasi lapangan ini dilaksanakan
pada tanggal 12 Januari 2013 mulai pukul 09.00 sampai dengan pukul 14.00.
2.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan dalam
pengumpulan data adalah:
1. Observasi : Pengamatan langsung
dalam memperoleh data
2. Wawancara
responden dan informan
3. FGD
(focus group discusion) , diskusi dengan beberapa informan yang membicarakan
hal tertentu selaras dengan tujuan observasi.
Kami melakukan pengumpulan data primer
dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui pengamatan langsung
dan wawacara mendalam dengan para informan dan responden. Para
informan dan responden tersebut terdiri atas warga desa
penelitian, tokoh masyarakat. Sementara
itu,untuk data sekunder diperoleh melalui berbagai literatur serta
catatan-catatan instansi
terkait yang terdapat pada website dan pihak-pihak lainnya yang dapat
mendukung kelengkapan informasi yang dibutuhkan.
3.Sasaran informan
a)Warga masyarakat dilokasi kampong
naga
b)Informan kunci :lebe, punduh adat,
c)Informan : warga masyarakat
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
PERKAMPUNGAN
Perkampungan adalah
kelompok rumah yg merupakan kampung ; kumpulan gubuk yang tampak , atau
kumpulan kampung
Kelompok rumah yg
merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah); 2 n
desa; dusun; 3 n kesatuan administrasi terkecil yg menempati
wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan; 4 a terbelakang
(belum modern); berkaitan dng kebiasaan di kampung; kolot;
B. PERMUKIMAN
Pengertian
permukiman, perumahan dan rumah
Beberapa pengertian permukiman, antara lain:
Beberapa pengertian permukiman, antara lain:
A. Menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, permukiman adalah lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
B. Menurut
Sinulingga (1999: 187), permukiman adalah gabungan 4 elemen pembentuknya
(lahan, prasarana, rumah dan fasilitas umum) dimana lahan adalah lokasi untuk
permukiman. Kondisi tanah mempengaruhi harga rumah, didukung prasarana
permukiman berupa jalan lokal, drainase, air kotor, air bersih, listrik dan
telepon, serta fasilitas umum yang mendukung rumah; dan
C. Menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, perumahan adalah kelompok rumah yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan rumah adalah
bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga.
Terbentuknya
sebuah permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara keseluruhan
dapat dilihat unsur-unsur ekistiknya.
Adapun
unsur-unsur ekistik pada sebuah pola permukiman sebagai berikut (Doxiadis,
1968):
1. Natural
(Fisik Alami):
a) Geological
resources (tanah/geologi);
b) Topographical
resources (kelerengan/ketinggian);
c) Water
(hidrologi/sumber daya air);
d) Plant
life (tanam-tanaman/vegetasi);
e) Animal
(hewan); dan
f) Climate
(iklim).
2. Man
(Manusia):
a) Biological
needs (space, air, temperature);
b) Sensation
and perception (the five senses);
c) Emotional needs (human relations, beauty); dan
d) Moral values (nilai-nilai moral).
3.
Society:
a)
Population composition
and density (komposisi dan kepadatan penduduk);
b)
Social stratifications
(stratifikasi masyarakat);
c)
Culture pattern
(bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat);
d)
Economic development
(pertumbuhan ekonomi);
e)
Education (tingkat
pendidikan);
f)
Health and welfare
(tingkat kesehatan dan kesejahteraan); dan
g)
Law and administration
(hukum dan administrasi).
4. Shell:
a) Housing
(rumah);
b) Community
services (pelayanan masyarakat);
c) Shopping
centres and markets (pusat perdagangan dan pasar);
d) Recreational
facilities (threate, museum, stadium, etc);
e) Civic
and business centres (town hall, law-courts, etc);
f) Industry
(sektor industri); dan g. Transportation centres (pusat pergerakan).
5. Network:
a) Water
supply systems (sistem jaringan air);
b) Power
supply systems (sistem jaringan listrik);
c) Transportation
systems (sistem transportasi);
d) Communication
systems (sistem komunikasi);
e) Sewerage
and drainage (sistem pembuangan dan drainase);
f) Physical lay out (bentuk fisik).
Secara kronologis kelima elemen ekistik tersebut membentuk lingkungan permukiman. Nature (unsur alami) merupakan wadah manusia sebagai individu (man) ada di dalamnya dan membentuk kelompok-kelompok sosial yang berfungsi sebagai suatu masyarakat (society). Kelompok sosial tersebut membutuhkan perlindungan sebagai tempat untuk dapat melaksanakan kehidupannya, maka mereka menciptakan shell. Shell berkembang menjadi besar dan semakin kompleks, sehingga membutuhkan network untuk menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman terdiri dari isi (content), yaitu manusia baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah (container), yaitu lingkungan fisik permukiman (Doxiadis, 1968).
C. TINJAUAN
KARAKTERISTIK POLA TATA RUANG
Pengertian tata ruang
Menurut Rapoport (1989), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu.
Menurut Rapoport (1989), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu.
Ketataruangan
secara konsepsual menekankan pada proses yang saling bergantung antara lain :
a) Proses
yang mengkhususkan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan
fungsional tersebut;
b) Proses
pengadaan ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang basi aktivitas
seperti bentuk tempat kerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi; dan
c) Proses
pengadaan dan penggabungan tatanan ruang ini antara berbagai bagian-bagian
permukaan bumi di atas, yang mana ditempatkan berbagai aktivitas dengan bagian
atas ruang angkasa, serta kebagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya
sehingga perlu dilihat dalam wawasan yang integratik.
D.
TINJAUAN KARAKTERISTIK
PERMUKIMAN TRADISIONAL
Permukiman tradisional
Permukiman tradisional
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah (Sasongko 2005).
Menurut Sasongko (2005), bahwa struktur
ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas
sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan
atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik
ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga
objek nyata dari identifikasi.
Dalam masyarakat kampung
Naga,bangunan tradisional mempunyai fungsi tersendiri. Jenis konstruksi dan
atap yang digunakan sangat genial dalam memecahkan masalah iklim setempat.
Struktur tiang dan umpak membuat bangunan adaptif terhadap gempa dan kontur
tanah. Umpak juga mencegah tiang kayu lapuk terkena kelembaban tanah dan
serangan serangga tanah.
Ventilasi diatur agar rumah tetap
kering dan sejuk, mengimbangi kondisi iklim tropis. Bentuk atap pelana rumah
adat Kampung Naga disebut suhunan panjang atau suhunan julang ngapak
( bila sisi rumah ditambah sosompang
) dan terbuat dari ijuk. Selain kedap air, atap juga menjaga kehangatan rumah
saat malam, karena teritis antar rumah yang nyaris bersentuhan itu membentuk
lorong yang mengurangi masuknya angin. Berdasar kepercayaan bahwa manusia tak
boleh menentang kodrat alam, maka pada ujung timur dan barat atap, sesuai arah
edar matahari, diletakkan dekorasi cagak gunting atau capit hurang
untuk menghindari mala petaka.
Bahkan menurut Habraken dalam Fauzia (2006:32), ditegaskan bahwa sebagai suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada bangunan tradisional, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa benda–benda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah permukiman dan bangunan tradisional.
Pola permukiman
Menurut Prasetyanti (2005:16), yang Pertama (sempit), yaitu memperhatikan susunan dan penyebaran bangunan (rumah, gedung, sekolah, kantor dan pasar). Kedua (luas) adalah memperhatikan bangunan, jaringan jalan dan pekarangan menjadi sumber penghasilan penduduk.
Dijelaskan
oleh Jayadinata (1992: 46-51), bahwa pola permukiman terbagi menjadi:
a) Permukiman
memusat, yakni yang rumahnya mengelompok (agglomerated rural settlement), dan
merupakan dukuh atau Dusun (hamlet) yang terdiri atas kurang dari 40 rumah, dan
kampung (village) yang terdiri dari 40 rumah atau lebih bahkan ratusan rumah.
Di sekitar kampung dan Dusun terdapat tanah bagi pertanian, perikanan,
perternakan, pertambangan, kehutanan, tempat penduduk bekerja sehari-hari untuk
mencari nafkahnya. Dalam perkembangannya suatu kampung dapat mencapai berbagai
bentuk, tergantung kepada keadaan fisik dan sosial. Perkampungan pertanian
umumnya mendekati bentuk bujur sangkar; dan
b) Permukiman
terpencar, yang rumahnya terpencar menyendiri (disseminated rural settlement)
terdapat di negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan
sebagainya. Perkampungan terpencar di negara itu hanya terdiri atas farmstead,
yaitu sebuah rumah petani yang terpencil tetapi lengkap dengan gudang alat
mesin, penggilingan gandum, lumbung, kandang ternak. Kadang-kadang terdapat
homestead, yaitu rumah terpencil.
Bentuk
pola permukiman yang lain dijelaskan oleh Sri Narni dalam Mulyati (1995) antara
lain:
1)
Pola permukiman
memanjang (linier satu sisi) di sepanjang jalan baik di sisi kiri maupun sisi
kanan saja;
2)
Pola permukiman sejajar
(linier dua sisi) merupakan permukiman yang memanjang di sepanjang jalan;
3)
Pola permukiman cul de sac merupakan
permukiman yang tumbuh di tengah-tengah jalur melingkar;
4)
Pola permukiman
mengantong merupakan permukiman yang tumbuh di daerah seperti kantong yang
dibentuk oleh jalan yang memagarnya;
5)
Pola permukiman
curvalinier merupakan permukiman yang tumbu di daerah sebelah kiri dan kanan
jalan yang membentuk kurva; dan
6)
Pola permukiman
melingkar merupakan permukiman yang tumbuh mengelilingi ruang terbuka kota.
Permukiman tradisional merupakan
manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan
nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan
dasar norma-norma tradisi (Rapoport dalam Dewi (2008: 31). Permukiman tradisional
sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat
dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat
khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat
tertentu pula di luar determinasi sejarah (Crysler dalam Sasongko 2005:1).
Menurut Norberg-Schulz dalam Sasongko
(2005), bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian
tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan
melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan
binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan
orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Wikantiyoso dalam Krisna et al.
(2005:17) menambahkan, bahwa permukiman tradisional adalah aset kawasan yang
dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut
terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas
sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang khas.
Pola tata ruang permukiman mengandug
tiga elemen, yaitu ruang dengan elemen penyusunnya (bangunan dan ruang
disekitarnya), tatanan (formation) yang mempunyai makna komposisi sera pattern
atau model dari suatu komposisi.
Pada bagian lain Dwi Ari & Antariksa (2005:79) menyatakan bahwa permukiman tradisional memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan antara faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman.
Pada bagian lain Dwi Ari & Antariksa (2005:79) menyatakan bahwa permukiman tradisional memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan antara faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman.
Terdapat
kategori pola permukiman tradisional berdasarkan bentuknya yang terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu
1)
Pola permukiman bentuk
memanjang terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan garis pantai;
2)
Pola permukiman bentuk
melingkar;
3)
Pola permukiman bentuk
persegi panjang; dan
4)
Pola permukiman bentuk
kubus.
Pola permukiman tradisional berdasarkan pada pola persebarannya juga dibagi menjadi dua, yaitu pola menyebar dan pola mengelompok.
Menurut Wiriatmadja (1981:23-25) pola
spasial permukiman sebagai berikut:
1) Pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan
satu sama lain, terutama terjadi dalam daerah yang baru dibuka. Hal tersebut
disebabkan karena belum adanya jalan besar, sedangkan orang-orang mempunyai
sebidang tanah yang selama suatu masa tertentu harus diusahakan secara terus
menerus;
2) Pola
permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, memanjang mengikuti
jalan lalu lintas (jalan darat/sungai), sedangkan tanah garapan berada di
belakangnya;
3) Pola
permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah kampung/desa, sedangkan tanah
garapan berada di luar kampung; dan
4) Berkumpul
dan tersusun melingkar mengikuti jalan. Pola permukiman dengan cara berkumpul
dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan yang melingkar, sedangkan tanah
garapan berada di belakangnya.
Menurut Widayati (2002) dijelaskan bahwa
rumah merupakan bagian dari suatu permukiman. Rumah saling berkelompok
membentuk permukiman dengan pola tertentu.
Pengelompokan
permukiman dapat didasari atas dasar :
·
Kesamaan golongan dalam
masyarakat, misalnya terjadi dalam kelompok sosial tertentu antara lain komplek
kraton, komplek perumahan pegawai;
·
Kesamaan profesi
tertentu, antara lain desa pengrajin, perumahan dosen, perumahan bank; dan
·
Kesamaan atas dasar
suku bangsa tertentu, antara lain Kampung Bali, Kampung Makasar.
Untuk menciptakan permukiman atau
kampung pada suatu wilayah dapat dilakukan dengan dua tindakan, yaitu
Pertama dengan membuka
hutan disebut mbabat.
Kedua, dengan menampilkan tokoh yang
membentuk tatanan dari suatu kekacauan (Aliyah 2004:35).
Menurut
Aliyah (2004:35) elemen-elemen pembentuk karakter kampung/permukiman tradisional
di Jawa, yaitu sebagai berikut:
1)
Riwayat terbentuknya
(legenda/sejarah kampung) yang secara fisik dapat dikenali dengan keberadaan
situs;
2) Tokoh
yang membentuk tatanan dari suatu kekacauan. Seseorang yang dianggap memiliki
kesaktian dan mampu menaklukkan lahan yang akan dijadikan permukiman dari
kekuasaan makhluk halus penguasa hutan;
3)
Kelompok masyarakat
dalam kesatuan tatanan bermukim;
4) Susunan
tata masa atau komposisi bangunan hunian, karena tata masa bangunan Jawa
memiliki aturan atau patokan tersendiri, sehingga berpengaruh pada komposisi
bangunan dalam kampung;
5) Batas teritori wilayah kekuasaan pribadi
(lahan). Perbedaan ruang publik dan ruang privat sangat kuat, sehingga ada
tuntunan pembatas teritori, dan memiliki aturan dalam penempatan pintu sebagai
penghubung;
6) Besaran
lahan atau ukuran luas tapak. Ukuran ditentukan oleh tingkat status sosial dan
derajat sang penghuni;
7) Bentuk
dan ukuran pagar yang ditentukan oleh status sosial masyarakat yang menghuni;
dan
8)
Bentuk dan ukuran
bangunan rumah tinggal.
Hal
ini ditentukan oleh status sosial sang penghuni.
Bangunan tradisional
Bangunan tradisional
Selain permukiman tradisional, kebudayaan fisik lainnya terlihat dari bentuk bangunan tradisional yang biasanya diterapkan pembangunannya melalui rumah tradisional. Menurut Machmud (2006:180), rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa generasi. Istilah lain untuk rumah tradisional adalah rumah adat atau rumah rakyat. Kriteria dalam menilai keaslian rumah–rumah tradisional antara lain kebiasaan–kebiasaan yang menjadi suatu peraturan yang tidak tertulis saat rumah didirikan ataupun mulai digunakan. Ada ritual–ritual tertentu misalnya upacara pemancangan tiang pertama, selamatan/kenduri dan penentuan waktu yang tepat. Selain hal tersebut, masih banyak tata cara atau aturan yang dipakai, misalnya arah hadap rumah, bentuk, warna, motif hiasan, bahan bangunan yang digunakan, sesajen, doa atau mantera yang harus dibaca dan sebagainya sangat erat terkait pada rumah tradisional.
Bangunan arsitektur tradisional mempunyai beberapa ciri yang dapat dilihat secara visual. Ciri-ciri ini hampir semuanya terdapat di beberapa daerah di Indonesia, namun adakalanya beberapa lokasi sedikit mempunyai perbedaan.
Beberapa
ciri arsitektur tradisional antara lain (Utomo 2000 dalam Dewi et al.
2008:33-35):
1. Berlatar
belakang religi: Keberadaan bangunan arsitektur tradisional tidak lepas dari
faktor religi, baik secara konsep, pelaksanaan pembangunannya maupun wujud
bangunannya. Hal ini disebabkan oleh cara pandang dan konsep masyarakat
tradisional dalam menempatkan bagian integral dari alam (bagian dari tata
sistem kosmologi), yaitu alam raya, besar (makroskopis) dan alam kecil
(mikroskopis), yang diupayakan oleh masyarakat tradisional adalah bagaimana
agar kestabilan dan keseimbangan alam tetap terjaga.
Bentuk perujukan
dengan alam tersebut dilakukan dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut:
·
Menganggap arah-arah
tertentu memiliki kekuatan magis:
·
Menganggap arah-arah
tertentu mempunyai kekuatan magis bukanlah satu hal yang asing di dunia
arsitektur tradisional (juga di Indonesia).
Mereka
mengenal arah mana yang dianggap baik dan arah mana yang dianggap buruk atau
jelek. Adapula yang menghubungkan arah ini dengan simbolisme dunia (baik dan suci),
tengah (sedang) dan bawah (jelek, buruk, kotor). Arah-arah baik ini
mempengaruhi pola tata letak bangunan dalam satu tapak. Bangunan-bangunan harus
dihadapkan pada arah baik dan membelakangi arah buruk; dan
· Menganggap
ruang-ruang tertentu memiliki kekuatan magis: Adakalanya bangunan-bangunan
tertentu di dalam bangunan dianggap mempunyai nilai sakral. Kesakralan ini
diwujudkan dengan memberikan nilai lebih dalam suatu ruangan. Ruangan ini
dianggap sakral, suci seperti yang terjadi dalam arsitektur tradisional Jawa.
Senthong tengah pada bangunan rumah tinggal di Jawa dianggap sebagai ruang suci
dan sakral dibandingkan dengan ruang lainnya;
2. Pengaruh
hubungan kekeluargaan/ kemasyarakatan:
Hubungan
kekeluargaan dalam struktur masyarakat tradisional dapat dibedakan menjadi
beberapa kriteria. Berdasarkan pertalian darah (genealogi) kelompok masyarakat
tradisional dibedakan menjadi:
·
Sistem bilateral atau
parental: Kesatuan keluarga dalam sistem ini terdiri dari bapak, ibu dan
anak-anak. Di dalam perkembangannya jumlah anggota keluarga pada sistem ini
semakin lama semakin banyak, sehingga anggota keluarga yang tinggal bersama
akan semakin besar, bahkan sampai rumah tinggal mereka tidak memuatnya lagi;
dan
·
Sistem unilateral:
Susunan keluarga dalam sistem ini ditarik dari garis keturunan hanya dari pihak
ayah saja (patrilineal/ patrilokal) atau dari pihak ibu (matrilokal); dan
3. Pengaruh
iklim tropis lembab: Karena posisi Indonesia berada pada zona yang beriklim
tropis lembab, maka mau tidak mau keberadaan arsitektur tradisional harus
merujuk kepada iklim tropis lembab. Konsep adaptasinya terhadap iklim setempat
yang diterapkan pada bangunan rumah tinggalnya, diyakini sebagai salah satu
contoh yang baik. Susunan massa, arah hadap (orientasi), pemilihan bentuk atap,
pemilihan bahan bangunan, teknik komposisi, semuanya benar-benar diperhitungkan
terhadap aspek iklim tropis sedemikian sehingga dapat memberikan kenyamanan
bagi penghuni rumah.
E. SEJARAH
KAMPUNG NAGA
Kampung
Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih
memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak
luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun,
asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan
sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya
kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut
sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor".
Adapun
beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya, pada
masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya
yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah
Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut,
Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana.
Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu
tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga
sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut, sebab karena adanya
"pareumeun obor" tadi. Adapun beberapa versi sejarah yang diceritakan
oleh beberapa sumber diantaranya, pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk
menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah
Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga
disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk
harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia
harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat
kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut, sebab
karena adanya "pareumeun obor" tadi. ( wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga)
BAB III
POLA PERMUKIMAN KAMPUNG NAGA
Semenjak keberadaan manusia di
permukaan bumi, relasi (interelasi,interaksi, dan interdependensi) antara
manusia dengan lingkungan terjadi dan menghasilkan bentuk atau pola tertentu.
Hal ini disebabkan karena potensi dan kemampuan manusia serta keadaan alam
lingkungan yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan keanekaragaman.
Secara
individual, tidak ada satupun manusia yang sama di muka bumi ini. Selaras
dengan itu, tidak ada pula alam lingkungan tempat tinggal manusia yang seragam.
Namun demikian produk relasinya antara manusia dengan alam dapat dibuat
generalisasi. Baik berdasarkan perilaku pada umumnya, kekhasan alam lingkungan
tempat tinggalnya, topografi wilayahnya, ataupun keadaan fisik lainnya. Tatkala
manusia merespon keadaan alam untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan,
dan minum atau pemenuhan sandang dan papan misalnya, diperlukan kemampuan
manusia yang tidak hanya bersifat praxis
or reality, akan tetapi juga melibatkan aspek symbol, concept, principles, generalization, dan contruct.
Generalisasi
bentuk respons manusia terhadap alam lingkungan, melahirkan kekhasan
kewilayahan atau regionalisasi. Hal ini tidak lagi berdasarkan pada keadaan
alam lingkungan semata-mata, namun merupakan gabungan antar generalisasi
perilaku manusia dengan alam lingkungannya.Ekspresi yang paling mudah ditangkap
tentang kekhasan ini adalah budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat
pada wilayah tertentu, yang berbeda dengan wilayah yang lain. Tentu saja
kekhasan ini merupakan salah satu tujuan dari kelompok masyarakat agar tetap bisa bertahan hidup bagi
kelangsungan hidup generasi sekarang dan penerusnya dimasa datang .
(Ahman Sya,2012:170)
Kampung Naga merupakan salah satu
contoh generalisasi bentuk respons manusia terhadap alam lingkungan, melahirkan
kekhasan kewilayahan atau regionalisasi, yang menjadi suatu perkampungan yang dihuni oleh
sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan
leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung
Naga menjadi objek kajian budaya mengenai kehidupan masyarakat
pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di
Jawa Barat.
Kampung Naga yang terletak di wilayah Jawa Barat ini
merupakan satu dari sejumlah kampung adat yang ada di Indonesia. Keteguhan
dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, membuat kampung menjadi daerah tujuan
wisata parawisatawan atau
penelitian sejumlah peneliti. Kehidupan modern memang tidak bisa lepas dari
masyarakat kampung adat, namun mereka tetap hidup pada suatu tatanan dalam
suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat
A.
LETAK GEOGRAFIS KAMPUNG NAGA
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni
oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya.
Secara administratif, Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak
jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan Kota Tasikmalaya,
yang berada di lembah yang subur. Adapun batas wilayahnya :
-
Di
sebelah Barat adalah hutan keramat (yang didalamnya terdapat makam leluhur
masyarakat Kampung Naga).
-
Di
sebelah Selatan sawah-sawah penduduk
-
Di
sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal
dari Gn.Cikuray di daerah Garut.
Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga
sekitar 30 Km,sedangkan dari Kota Garut jaraknya + 26 KM. Untuk
mencapai perkampungan ini tidaklah terlalu sulit.
Untuk menuju
Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok
(Sunda sengked) sampai ketepi sungai Ciwulan dengan
kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan
sampai kedalam Kampung Naga
B.
KONDISI
FISIK
Menurut
data dari Desa Neglasari, Struktur tanah pada area kawasan Kampung Naga berbukit-bukit
sehingga perkampungan atau pemukiman masyarakatnya dibangun diatas tanah
yang tidak rapi dan untuk mencegah
kelongsoran dibentuk sengkedan yang terbuat dari bata/batu.
Pemukiman pada masyarakat Kampung Naga berbentuk
mengelompok biasanya bentuk pemukimannya dibatasi oleh pagar dari
bambu yang memisahkan daerah pemukiman dengan daerah yang
dianggap kotor. Baik dari segi bangunan, bahan
dan arahnya, pemukiman pada masyarakat Kampung Naga menunjukkan adanya
keseragaman. Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga
berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas 1,5 ha,sebagian
besar digunakan untuk perumahan,pekarangan, koam, dan selebihnya digunakan
untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
C.
SOSIAL,
EKONOMI DAN BUDAYA
1. Jumlah
Penduduk
Penduduk yang menghuni kampung ini
sekarang berjumlah 314 orang yang terbagi dalam 109 Kepala Keluarga (KK).
2. Pendidikan
Tingkat
Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan
sekolah dasar,karena keterbatasan biaya tapi adapula yang melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola
pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah
tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari anggapan tersebut orang
tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan dari alam atau
kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula.
3. Sistem
Kemasyarakatan
Kemasyarakatan di Kampung Naga masih
sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan
kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi.
Lebih jauh menilik pola hidup dan
kepemimpinan Kampung Naga, kita akan mendapatkan dua pemimpin dengan tugasnya
masing –masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh
masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu
sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Sang Kuncen yang meski begitu
berkuasa dalam hal adapt istiadat jika berhubungan dengan system pemerintahan
desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW
haruslah taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adat istiadat dan
kehidupan rohani penduduk Kampung Naga.
4. Sitem
Perekonomian Masyarakat Kampung Naga
Pekerjaan pokok
masyarakat Kampung Naga adalah sebagai petani, baik sebagai petani
pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani. Masyarakat Kampung Naga ini mempunyai
mata pencaharian sampingan, yakni membuat kerajinan tangan atau barang
anyaman dari bambu. Dengan semakin
seringnya wisatawan berkunjung ke kampung ini, penduduk juga mulai
berjualan makanan ringan dan minuman di depan rumah mereka.
5. Sistem
Kepercayaan ( Religi )
Penduduk Kampung Naga Mengaku
mayoritas adalah pemeluk agama islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat
lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek
moyangnya.
Menurut
kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan
nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang
datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak
dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut
dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak
menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Masyarakat
Sanaga pun masih mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib yang
mengisi tempat – tempat tertentu yang dianggap angker.
Kepercayaan
masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya
jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama
bagian sungai yang dalam (“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu
mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam
hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal
dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang
sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat
tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai
tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti
makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid
merupakan tempat yang dipandang suci
bagi masyarakat Kampung Naga
1. Sistem
Hukum
Seperti kebanyakan kampung adat lainnya, masyarakat Sanaga
juga memiliki aturan hukum sendiri yang tak tertulis namun masyarakat
sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung Naga memang memiliki
Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang mereka anut adalah Larangan,
Wasiat dan Akibat.
Sistem hukum di kampung Naga hanya berlandaskan kepada kata pamali,
yakni sesuatu ketentuan yang telah di tentukan oleh nenek moyang Kampung
Naga yang tidak boleh di langgar. Sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan
tidaklah jelas, mungkin hanyalah berupa teguran, karena masyarakat Sanaga
memegang prinsip bahwa siapa yang melakukan pelanggaran maka dia sendiri yang
akan menerima akibatnya.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga
masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama
yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan
ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi
oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah
rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
2. Peralatan
Hidup Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat yang masih
menggunakan peralatan ataupun perlengkapan hidup yang sederhana, non
teknologi yang kesemua bahannya tersedia di alam. Seperti untuk memasak,
masyarakat Sanaga menggunakan tungku dengan bahan bakar menggunakan kayu bakar
dan untuk membajak sawah mereka tidak menggunkan traktor melainkan menggunakan
cangkul. Dan masih banyak hal lainnya, yang pasti masayarakat Sanaga tidak
menggunakan peralatan canggih berteknologi tinggi, dan kampung mereka pun tidak
ada listrik.
A.
PENATAAN
LINGKUNGAN KAMPUNG NAGA
Di
dalam Kampung Naga yang luasnya sekitar 1,5 hektar ini, terdapat 112 bangunan (
awalnya 11 kemudian ditambah 1 bangunan lagi karena ada warga yang tadinya
tinggal di luar, kembali lagi dan menetap di kampung ini ), dengan rincian 4
bangunan khusus dan 110 bangunan permukiman.
Pola pemukiman Kampung Naga merupakan
pola mengelompok yang disesuaikan
dengan keadaan tanah yang ada dengan sebuah lahan kosong (lapang) di
tengah-tengah kampung. Pola perkampungan seperti Kampung Naga bisa jadi
merupakan prototype dari pola perkampungan masyarakat Sunda, walaupun di sana
sini terjadi perubahan. Adanya kolam, leuit, pancuran, saung lisung, rumah
kuncen, bale, rumah suci, dan sebagainya, menunjukkan ciri-ciri pola
perkampungan Sunda. Demikian juga bentuk rumahnya.
Jika
dicermati dengan seksama, masyarakat Kampung Naga membagi
peruntukan
lahan ke dalam tiga kawasan, yaitu:
1. Kawasan Suci
Kawasan
suci adalah sebuah bukit kecil di sebelah barat pemukiman yang
disebut
Bukit Naga serta areal hutan lindung (leuweung larangan) persis di tikungan
tapal kuda di timur dan barat Sungai Ciwulan. Sebagaimana hutan lindung, Bukit
Naga juga sebuah hutan, berupa semak belukar yang ditumbuhi pohon-pohon kecil
dan sedang, dan dianggap hutan tutupan (leuweung tutupan atau leuweung
karamat). Dalam hutan di Bukit
Naga
inilah ditempatkan tanah pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk didalamnya
makam para uyut
2. Kawasan Bersih
Kawasan
bersih bisa diartikan sebagai kawasan bebas dari benda-benda yang dapat mengotori kampung. Baik
dari sampah rumah tangga maupun kotoran hewan, seperti kambing,sapi atau
kerbau, terutama anjing. Kawasan ini berada dalam areal pagar kandang jaga. Di
dalam kawasan bersih, selain rumah, juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi
ageung, masjid, leuit, dan patemon
a.
Bumi Ageung
Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai
ukuran yang lebih keci ldibandingkan dengan perumahan warga, akan tetapi
memiliki fungsi dan arti yangsangat besar. Bangunan ini memiliki sifat sakral,
karena dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan dijadikan
tempat tinggal tokoh yang palingtua usianya diantara warga Kampung Naga
lainnya, yang dianggap keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral
ini terletak pada teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat sunyi dan
berpagar tinggi terbuat dari bambu dandirangkap dengan pagar hidup dari
hanjuang.
a.
Masjid dan Bale patemon
Masjid dan bale petemon Kampung Naga terletak di daerah
terbuka (openspace). Rincinya kedua bangunan tersebut berada di depan lapangan
milik warga masyarakat Kampung Naga. Masjid dan bale patemon merupakan
dua bangunanyang terletak di kawasan bersih yaitu di sekitar rumah
masyarakat.Masjid di Kampung Naga tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat
ibadah atau tempat menuntut ilmu agama. Lebih dari itu, fungsi Masjid
Kampung Naga juga sebagai tempat awal dan akhir dari pelaksanaan ritual Hajat
Sasih. Jadi, selain sebagai fungsi tempat ibadah, masjid
juga memiliki fungsi lain yaitu tempat pelaksanaan ritual adat. Sementara
bale patemon mempunyai fungsi sebagai tempat musyawarah milik masyarakat
Kampung Naga.
a.
Leuit / lumbung padi
Leuit
(lumbung), merupakan bangunan yang terletak di sekitar perumahan milik warga Kampung Naga. Leuit
berfungsi untuk menyimpan padi hasil panenyang disumbangkan warga. Padi-padi
tersebut biasa digunakan manakala ada kegiatan-kegiatan baik itu acara ritual
maupun yang lainnya misalkan pemugaran Masjid, bale patemon dan
sebagainya.Bangunan leuit ditempatkan di sektor perumahan jadi masuk ke dalam
kawasan bersih milik masyarakat Kampung Naga. Sebelum padi dimasukkan ke
dalam leuit
padi dijemur terlebih dahulu sampai kering dan siap untuk ditumbuk
b.
Rumah warga
Rumah yang berada di Kampung
Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 110 bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, leuit(Lumbung
Padi) dan patemon (Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri, maka telah
tersedia areal untuk membangunrumah di luar perkampungan Kampung Naga Dalam yang
biasa disebut Kampung Naga Luar.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, jumlah bangunan
rumah tidak boleh lebih dari 112 . dengan luas rumah rata-rata 7x8 meter,
dengan menghadap arah Utara dan Selatan
Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk
yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran. Pemangku
adat pun memandang masyarakat Kampung Naga tidak dilengkapi dengan meja dan
kursi.Tepas imah sekaligus berfungsi
sebagai filter yang menyaring berbagai kemungkinan
pengaruh buruk yang akan masuk kedalam rumah. Oleh karena itu,
tepas imah juga
dilengkapi dengan penolak bala yang terbuat dari ketupat yang diisi beras dan di doa oleh bapak lebe pada saat bulan
Muharam diganti setahunsekali.Ini dipercaya
oleh masyarakat Kampung Naga sebagai penolak bala yang menjaga
seluruh penghuni rumah. Setahun sekali, setiap bulan Muharram.
Letak pintu depan tempat menggantung
penolak bala tersebut tidak boleh sejajar dengan
pintu belakan atau pintu dapur. Rumah dengan posisi pintu yangseperti itu dipercaya masyarakat
tidak akan membawa keberuntungan. Selain itu,mereka
juga mempercayai bahwa posisi pintu tempat menggantung tangtangangin
yang sejajar dengan pintu belakang akan membawa kesulitan ekonomi bagi pemiliknya, karena rezeki yang datang dari
pintu depan akan langsung keluar melalui pintu belakang tanpa
sempat mampir di dalam rumah tersebut.
Gambar Pintu depan rumah dipasang penolak bala
Tengah Imah
Tengah imah merupakan bagian tengah dari rumah masyarakat
Kampung Naga. Sebagai ruang tengah,
tengah imah berfungsi sebagai ruang tempat
keluarga
berkumpul. Bagi mereka yang memiliki anak, ruang tersebut berfungsisekaligus sebagai ruang belajar bagi
mereka. Namun karena rumah masyarakat Kampung Naga rata-rata berukuran 6x8meter, pada malam hari tengah imah sering
dijadikan tempat tidur untuk anak-anak, atau sanak keluarga yang menginap.
Walau demikian, antara tengah imah dengan tepas
imah tidak memiliki pembatas. Sehingga jika dirasa masih kekurangan
tempat, tepas imah biasa juga dijadikan tempat untuk tidur.
Pangkeng
Pangkeng artinya ruangan tempat tidur. Untuk mereka yang
memiliki rumah lebih
besar, biasanya memiliki dua pangkeng. Tetapi karena rata-rata luas bangunannya terbatas,
kebanyakan rumah di Kampung Naga hanya memiliki satu pangkeng.
Dapur dan Goah
Dapur dan goah merupakan kebalikan dari tepas imah karena
wilayah ini merupakan wilayah kekuasaan kaum
wanita. Di ruang inilah sebagian besar kaum
wanita masyarakat
Kampung Naga menghabiskan waktunya. Dapur berfungsi sebagai
tempat memasak dan menyediakan hidangan. Sedangkan goah merupakan
tempat
penyimpanan beras atau gabah, dan bahan kebutuhan pokok lainnya.Untuk
meringankan pekerjaan, letak dapur dan goah sengaja dibuat secara berdekatan.
Kolong Imah
Kolong imah berada di antara permukaan tanah dengan bagian bawah lantai rumah. Tingginya kurang lebih 60 sentimeter.
Kolong imah biasanya dijadikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian,
atau bisa juga dipakaisebagai
tempat memelihara ternak seperti ayam, itik dan sebagainya
3. Kawasan kotor
Yang
dimaksud kawasan kotor adalah kawasan yang peruntukkannya sebagai kawasan kelengkapan
hidup lainnya yang tidak perlu dibersihkan setiap saat. Kawasan ini permukaan
tanahnya lebih rendah dari kawasan pemukiman, terletak bersebelahan dengan
Sungai Ciwulan. Di dalam kawasan ini antara lain terdapat pancuran dan sarana
MCK, kandang ternak, saung lisung, dan kolam.
Saung lisung/ tempat menumbuk padi
Saung
lisung, merupakan tempat masyarakat Kampung Naga menumbuk padi.
Bangunan ini dibuat terpisah dari perumahan, yaitu dipinggir (atau
diatas) balong (kolam ikan). Hal ini bertujuan agar limbah yang dihasilkan
dari saunglisung yaitu berupa huut (dedak) dan beunyeur (potongan-potongan
kecil dari beras) langsung masuk ke kolam dan menjadi makanan ikan. Dengan
demikian, praktis limbah yang dihasilkan tidak mengotori sektor bersih
(perumahan) milik warga. Demikian juga dengan kandang ternak. Kandang
tersebut ditempatkan diatas balong yang langsung bersisian dengan sungai
Ciwulan. Limbah yangdihasilkan kandang tersebut ditampung ke balong, atau
langsung dialirkan kesawah-sawah milik warga.
A.
SUMBER AIR
Air untuk
kebutuhan kampung Naga bersal dari dua sumber yang dialirkan melalui buluh
bamboo, air dari mata air di sebelah Selatan kampung digunakan hanya untuk
minum dan memasak, sedangkan untuk keperluan
mandi, MCK, wudhu,
berasal dari sungai Ciwulan dan air permukaan yang melewati sawah masuk
ke bak – bak penyaringan untuk dialirkan ke bak air wudhu dan jamban.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kampung Naga adalah
suatu perkampungan adat yang masih betahan di Jawa Barat selain Baduy. Kampung
ini masih tetap bertahan dengan segala adat istiadat, kebiasaan, serta
aturan-aturan mereka dan menutup segala aktivitas mereka dari alur modernisasi.
Mereka mempercayai aturan yang turun-menurun dari leluhurnya, dan mereka yakin
dengan aturan tersebut. Kampung Naga tidak mengikuti alur modernisasi karena
menjaga kesenjangan sosial di dalam kehidupan sehari-harinya, karena
modernisasi ditakutkan akan mengubah kebudayaan yang telah lama di anut oleh
kampung Naga.
Penataan
lingkungan di kampung Naga, mencerminkan suatu pola pikir ke depan atau yang
disebut dengan pembangunan lingkungan berkelanjutan
B.
Rekomendasi
1. Kampung
Naga sebaiknya dapat di jadikan aset wisata di Jawa Barat yang berhubungan
dengan Budaya.
2. Adat
istiadat kampung Naga harus dihargai pemerintah, agar dipandang oleh dunia,
karena jarang kampung-kampung di Indonesia yang masih menjaga keutuhan dari
budaya yang di turunkan oleh leluhurnya.
3. Serta
patut dijadikan percontohan dalam penataan lingkungan permukiman.
4. Mengarahkan
masyarakat kampung naga agar mau bersekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Permukiman.
Abu
Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar,Jakarta: Rineka Cipta, 1997, Cet. 3, hal. 228
Agus Widianto,
Keunikan Hidup di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/ posting 15 Januari 2013
Anonim.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Permukiman.
Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum
Adat dan HAM , website:http://www.IRE.com/ posting 15 Januari 2013
H.M.Ahman Sya dan H.Maman Abdurachman, Geografi Perilaku,
Bandung,Universitas BSI Bandung Press, 2012
Koentjaraningrat.
1984. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentaltas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
M. Ahman Sya dan Awan Mutakin,Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, Op.
Cit., hal. 36-37
Mulyati.
1995. Pola Spasial Permukiman Di Kampung Kauman Yogyakarta. Tesis. Tidak
Diterbitkan. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Pascasarjana
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Wiriatmadja, S. 1981. Pokok-Pokok Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Yasaguna.
Wiriatmadja, S. 1981. Pokok-Pokok Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Yasaguna.
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Terjemah Avuva Nababan, Yogyakarta:
Elsam, 2006, Cet. I, hal.
Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat
Adat Dalam Konteks
Ujif, Masyarakat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 12 Januari 2013